Senin, 22 Oktober 2012

BERITA


Liputan6.com, Jakarta:

Widi, vokalis band Vierra punya profesi baru sebagai sebagai pemain film. Sang Martir menjadi debut pertamanya menjajal kemampuan berakting.
Grogi dan gugup. Dua kata itu yang menyelimuti Widi di saat pertama kali syuting. "Gugup banget. Apalagi aku cuma reading 2 hari. Untung pas on set, semuanya lancar-lancar saja. Aku bersyukur banget," katanya, saat dijumpai Senin malam (22/10) di Planet Hollywood, Jakarta.
Peran pertamanya ini dianggap Widi "Vierra" penuh tantangan dan sulit. Berperan sebagai Lili, Widi harus melakukan adegan diperkosa. "Peran Lili sebenarnya nggak banyak. Tapi karena baru pertama kali dan adegannya berat banget, diperkosa," ungkap Widi Vierra.
Untung selama reading Widi dibantu oleh Henidar Amroe, artis senior yang juga berperan di film ini. "Sama Mbak Henidar Amroe saya disuruh tahan napas untuk adegan nangis," kenang Widi.
Keinginan Widi untuk menjajal dunia film tidak dihalangi oleh Kevin dan teman-teman lainnya di band Vierra. Selama tidak mengganggu Vierra, Widi diizinkan untuk berkarya di film.

Jumat, 19 Oktober 2012

KODE ETIK JURNALISTIK


 
KODE ETIK JURNALISTIK

PEMBUKAAN
Bahwa sesungguhnya salah satu perwujudan kemerdekaan Negara KesatuanRepublik Indonesia adalah kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dantulisan sebagaimana diamanatkan oleh pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945. Olehsebab itu kemerdekaan pers wajib dihormati oleh semua pihak.
            Mengingat Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara berda¬sarkan atashukum, seluruh wartawan Indonesia menjun¬jung tinggi konstitusi dan menegakkankemerdekaan pers yang bertanggung jawab, mematuhi norma-norma profesi kewartawanan, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupanbangsa, serta memperjuangkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial berdasar¬kan Pancasila.
Maka atas dasar itu, demi tegaknya harkat, martabat, integritas, dan mutukewartawanan Indonesia serta bertumpu pada kepercayaan masyarakat, dengan iniPersatuan Wartawan Indonesia(PWI) menetapkan Kode Etik Jurnalistik yangharus ditaati dan dilaksanakan oleh seluruh wartawan Indonesia.
BAB  I
KEPRIBADIAN DAN INTEGRITASI
Pasal 1
Wartawan Indonesia beriman dan bertaqwa kepada tuhan Yang Maha Esa, berjiwaPancasila, taat kepada undang-undang Dasar Negara RI, kesatria, menjunjung harkat,martabat manusia dan lingkungannya, mengabdi kepada kepentingan bangsa dan negaraserta terpercaya dalam mengemban profesinya.
Pasal 2
Wartawan Indonesia dengan penuh rasa tanggung jawab dan bijaksanamempertimbangkan patut tidaknya menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, suara, sertasuara dan gambar) yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan negara, persatuan dan kesatuan bangsa, menyinggung perasaan agama, kepercayaan ataukeyakinan suatu golongan yang dilindungi oleh undang-undang.
Pasal 3
Wartawan Indonesia pantang menyiarkan karya jurnallistik (tulisan, suara, serta suara dangambar) yang menyesatkan memutar balikkan fakta, bersifat fitnah, cabul sertasensasional.
Pasal 4
Wartawan Indonesia menolak imbalan yang dapat mempengaruhi obyektivitas pemberitaan.

BAB II
CARA PEMBERITAAN DAN MENYATAKAN PENDAPAT
Pasal 5
Wartawan Indonesia menyajikan berita secara berimbang dan adil, mengutamakankecermatan dari kecepatan serta tidak mencampur adukkan fakta dan opini sendiri. Karya jurnalistik berisi interpretasi dan opini wartawan, agar disajikan dengan menggunakannama jelas penulisnya.
Pasal 6
Wartawan Indonesia menghormati dan menjunjung tinggi kehidupan pribadi dengan tidak menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) yang merugikannama baik seseorang, kecuali menyangkut kepentingan umum.
Pasal 7
Wartawan Indonesia dalam memberitakan peristiwa yang diduga menyangkut pelanggaran hukum atau proses peradilan harus menghormati asas praduga tak bersalah, prinsip adil, jujur, dan penyajian yang berimbang.
Pasal 8
Wartawan Indonesia dalam memberitakan kejahatan susila (asusila) tidak merugikan pihak korban.?
BAB III
SUMBER BERITA
Wartawan Indonesia menempuh cara yang sopan dan terhormat untuk memperoleh bahankarya jurnalistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) dan selalu menyatakanidentitasnya kepada sumber berita.

Wartawan Indonesia mengakui bahwa pengawasan dan penetapan sanksi atas pelanggaran Kode Etik Jurnalistik ini adalah sepenuhnya hak organisasi dari PersatuanWartawan Indonesia (PWI) dan dilaksanakan oleh Dewan Kehormatan PWI.Tidak satu pihakpun di luar PWI yang dapat mengambil tindakan terhadap wartawanIndonesia dan atau medianya berdasarkan pasal-pasal dalam Kode Etik Jurnalistik ini.
Esensi Kode Etik 
Terbentuknya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di gedung Sono Soeko (sekaranggedung Monumen Pers) Surakarta pada 9 Februari 1946 tidak diikuti dengan perumusanformal Kode Etik Jurnalistik PWI (KEJ-PWI) seperti termaktub dalam dokumen resmiorganisasi profesi, dalam hal ini PWI. Seperti dikemukakan dalam buku PWI Jaya DiArena Masa yang disusun oleh Soebagijo I.N. pada hakekatnya apa yang kini disebutKode Etik Jurnalistik itu pada kongres pembentukan PWI di Solo pernah sekilasdibicarakan. Waktu itu, Ketua (Mr. Sumanang) mengatakan bahwa dia sudahmenyediakan rencana (naskah) suatu konvensi, yaitu suatu hukum yang tidak tertulis,suatu norma yang terlukis dalam batin kaum wartawan. Bunyinya: "Tiap wartawanIndonesia berkewajiban bekerja bagi kepentingan Tanah Air dan Bangsa, dengansenantiasa mengingat akan persatuan bangsa dan kedaulatan negara".Hal ini dapat dimengerti karena yang menjadi pusat perhatian tokoh-tokoh pers yang berkumpul di Surakarta ketika itu adalah bagaimana menghimpun serta mengintegrasikansegenap potensi bangsa khususnya masyarakat pers Indonesia untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Seperti diketahui jauh sebelum proklamasikemerdekaan dan pada periode revolusi fisik, pers Indonesia terkotak-kotak dalam beberapa kelompok penerbitan antara lain sebagai hasil rekayasa pemerintah Jepang.Sedangkan tokoh-tokoh PERDI (Persatoean Djoernalis Indonesia) setelah berhasilmembentuk wadah itu pada 23-24 Desember 1933 di Surakarta, tidak segera dapatmengonsolidasikan wadah pers yang dibentuk pada masa penjajahan Belanda tersebut.Hal ini terjadi karena situasi dan kondisi perang kemerdekaan waktu itu menyebabkanmasing-masing mempunyai kegiatan sendiri.Lagi pula, yang menjadi obsesi para tokoh pers yang berhasil mendirikan PWI diSurakarta 9 Februari 1946 itu adalah terbentuknya wadah perjuangan para wartawandalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Makna itu, antara lain, dapat ditangkapdari pidato sambutan Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin atas terbentuknya PWI. Iamenegaskan peran aktif dalam meyakinkan masyarakat dan tentara bahwa tujuan yanghendak dicapai adalah kemerdekaan seratus persen, dan mempersatukan rakyat dantentara agar saling membantu menegakkan persatuan (Sejarah Pers Nasional danPembangunan Pers Pancasila)

            Jadi dapat dimaklumi ketika PWI terbentuk tidak segera diikuti dengan perumusan formaldalam satu naskah otentik (Kode Etik Jurnalistik PWI) seperti dimiliki sekarang. Namuntidak berarti pers nasional waktu itu tidak memiliki landasan moral profesi berupa kodeetik atau kode perilaku jurnalis. Sebab pada waktu mendirikan PERDI, Desember 1933, para tokoh pers perjuangan juga menyadari sepenuhnya bahwa kode etik sebagailandasan moral profesi mutlak diperlukan. Hal itu, antara lain, terbukti dari sikap dasar organisasi itu yang menyatakan mutlak perlunya pertanggungjawaban dalammelaksanakan kebebasan pers.
Kemudian, sesuai dengan dinamika yang berkembangwaktu itu PERDI menyatakan dengan tegas bahwa asas perjuangannya adalahmenegakkan kedudukan pers Indonesia sebagai terompet perjuangan bangsa.Berangkat dari paradigma itu, PERDI menyatakan dirinya sebagai oganisasi yang bebasdari sekat-sekat pemisah berdasarkan suku, ras, agama, daerah asal, dan aliran politik.Tidak mengherankan apabila kemudian PERDI dikenal sebagai organisasi profesi berpaham kebangsaan. Tidak lain karena PERDI memiliki moto, "wartawan Indonesiaterlebih dahulu adalah nasionalis dan baru wartawan" (Lintasan Sejarah PWI).
Dalam perkembangannya moto PERDI tersebut terkenal dengan ungkapan: "Nasionalis dulu baru Jurnalis".Lagi pula, para tokoh pers perjuangan itu menyadari sepenuhnya bahwa sebenarnya kodeetik jurnalistik bersifat universal. Artinya, kode etik yang berlaku bagi wartawan di satunegara juga berlaku bagi wartawan di negara lain. Sebab prinsip-prinsip kode etik bahwa berita pers harus berimbang, bersifat netral, objektif, akurat, faktual, tidak mencampuradukkan fakta dan opini, tidak memasuki hal-hal bersifat pribadi (privacy),menghormati asas praduga tak bersalah, tidak bersifat fitnah, dusta dan cabul serta judul berita mencerminkan tubuh berita, berlaku bagi semua wartawan. Hanya saja, di sana-sinimemang ada spesifikasi atau pengkhususan sesuai dengan kultur masing-masing dankarakteristik media yang dipakai para wartawan.Esensi kode etik yang demikian itulah yang juga menyemangati para tokoh pers yangmendirikan PWI di Surakarta, 9 Februari 1946. Terbukti dalam perkembangannya,sekalipun kode etik jurnalistik baru dirumuskan pada Kongres PWI di Malang tahun 1946dan kemudian disahkan pada Kongres PWI di Surabaya tahun 1950 (Pers dan Masyarakatterbitan PP PWI), prinsip-prinsip kode etik yang bersifat universal tersebut menjadilandasan bagi penilaian pemberitaan pers.
Dengan kata lain, para tokoh pers waktu itudalam melakukan penilaian atas pemberitaan pers selalu mengacu kepada prinsip-prinsipkode etik yang bersifat universal tadi. Sekalipun harus diakui bahwa di sana-sini timbul penafsiran berbeda-beda atas prinsip-prinsip kode etik itu. Misalnya yang terjadi padakasus Asa Bafagih, Pemimpin Redaksi Harian Pemandangan, Jakarta, pada Agustus 1952karena memuat berita yang dianggap "membocorkan rahasia negara".Akan tetapi, dinamika perkembangan politik serta timbulnya berbagai masalah dalam pemberitaan pers pada awal 1950-an mendorong para tokoh pers pasca terbentuknya PWIuntuk merumuskan secara formal kode etik jurnalistik lebih rinci, lengkap, dankomprehensif serta hasil kajian tim yang khusus dibentuk untuk itu.
Dengan demikian,akan ada acuan atau pedoman baku dalam menilai apakah pemberitaan tertentu telah melanggar kode etik atau tidak. Di samping itu, mengingat intensitas pelanggaran atas prinsip-prinsip kode etik serta sensitivitas persoalan politik waktu itu, dirasa mendesak untuk segera merumuskan kembali kode etik jurnalistik PWI yang mampu menjawab perkembangan pers.Lebih-lebih, berlakunya UUDS-1950 yang menganut sistem kabinet parlementer dan praktek pers liberal sangat mewarnai pemberitaan pers. Pasal 19 UUDS-1950menegaskan, setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat. Pasal inilah yang mendasari praktek pers liberal waktu itu. Persoalan persmenjadi makin serius karena selain pratek pers liberal, jauh sebelumnya pemerintahIndonesia pada November 1945 telah mengeluarkan kebijakan penerapan sistemmultipartai. Konsekuensinya bermunculanlah banyak partai.
Dan ternyata masing-masing partai menerbitkan suratkabar dan majalah sendiri sebagai alat perjuangan partai. Tidak mengherankan apabila kemudian pers nasional waktu itu diramaikan oleh media partisan.Banyaknya media partisan sebagai wadah untuk memperjuangkan kepentingan partai dandidukung oleh sistem pers liberal membuat wajah pers nasonal waktu itu diwarnai oleh polemik berkepanjangan antara partai yang satu dengan partai yang lain. Atau polemik  berlarut-larut antara tokoh partai yang satu dengan tokoh partai yang lain, sehingga seringmelewati batas-batas kebebasan pers, bahkan memasuki hal-hal bersifat pribadi.Dalam buku Sejarah Pers Indonesia oleh Soebagijo I.N. dicatat bahwa memang padazaman liberal juga ada gejala-gejala atau pertanda yang menunjukkan pers banyak dibuatuntuk menyebar fitnah, mencaci maki, menjatuhkan martabat seseorang atau keluarga,tanpa memikirkan ukuran-ukuran sopan-santun dan tatakrama.Tidak hanya itu. Pers yang sangat liberal tadi membuat sebagian pers waktu itumempraktekkan kebebasan tanpa batas, sama sekali tidak diiringi oleh tanggung jawabterhadap kepentingan publik. Hal ini membuat tokoh-tokoh pers terpanggil untuk melakukan penertiban.
Apalagi sebagian pers waktu itu mempraktekkan pemberitaanyang bersifat sensasional berlebihan sehingga menyesatkan masyarakat. Tidak jarang pemberitaan pers disusupi oleh gaya agitatif yang dipicu oleh kepentingan partai.Akibatnya, pertentangan partai, termasuk di kalangan pers makin tajam. Artinya,kalangan pers waktu itu juga terkotak-kotak sebagai terompet partai yang berakibatterjadinya pelanggaran prinsip-prinsip kode etik melalui “perang pena” bekepanjanganantara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain.
Tegasnya, pers zaman itu cenderungdijadikan sebagai alat politik dan tidak lagi memperhatikan etika pers sebagaimanaseharusnya.Memang kalau kita menelusuri kembali catatan sejarah perjalanan bangsa ini terutamasejarah perkembangan pers Indonesia, jelas sekali bahwa pimpinan nasional sudahmemiliki komitmen untuk memperjuangkan kemerdekaan pers.
Demikian juga esensikode etik sebagai landasan bagi para jurnalis dalam melaksanakan tugasnya selaluditekankan dan diingatkan oleh para pemimpin bangsa waktu itu dalam berbagai kesempatan. Di samping itu, harus diakui pula bahwa perjuangan kemerdekaan pers pada zaman itu masih sangat kental dengan konteks perjuangan bangsa secara keseluruhan.Hal itu, antara lain, tercermin dalam konvensi yang diterima dan disepakati oleh para pendiri PWI tanggal 9 Februari 1946 yang mengatakan, “Tiap wartawan Indonesia berkewajiban bekerja bagi kepentingan tanah air dan bangsa, dengan senantiasamengingat akan persatuan bangsa dan kedaulatan rakyat”. Namun perlu juga dicatat sikap para tokoh pers dan pendiri PWI yang memelihara jarak dengan pemerintah. Independensi pers dijunjung tinggi. Setiap upaya pihak pemerintahyang mengarah pada campur tangan urusan pers dengan tegas ditolak oleh tokoh-tokoh pers. Jadi, kalau pada pembahasan RUU Pers akhir 1998 dan awal 1999 yang kemudianmenjadi UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sangat gencar disuarakan independensi pers, dalam arti jangan ada lagi campur tangan birokrasi terhadap pembinaan dan pengembangan kehidupan pers nasional, maka sebenarnya komitmen seperti itu sudahdigelorakan sejak pembentukan PWI tahun 1946.
Seperti diketahui, pada saat pembahasan RUU Pers itu di DPR-RI, kalangan pers dengan gigih memperjuangkanindependensi dimaksud. Hasil perjuangan itu memang tercapai dengan bulatnya pendirianyang mengatakan, “biarkanlah pers mengatur dirinya sendiri sedemikian rupa, sehinggatidak ada lagi campur tangan birokrasi”. Aktualisasi keberhasilan perjuangan itu adalahdibentuknya Dewan Pers yang independen sebagaimana ditetapkan dalam UU No. 40Tahun 1999 tentang Pers.Sikap memelihara jarak dengan pemerintah tersebut bukan hal baru bagi masyarakat pers.
Dengan kata lain sejak semula para pendiri PWI menolak campur tangan pemerintah berkenaan dengan pembinaan kehidupan pers.Hal itu terbukti dalam rapat yang diadakan segera setelah terbentuknya Pengurus PWIyang diketuai Mr. Sumanang dengan anggota Syamsuddin Sutan Makmur (Rakyat,Jakarta), B.M. Diah (Merdeka, Jakarta), Soemantoro (Kedaulatan Rakyat, Yogya),Ronggo Danukusumo (Suara Rakyat, Kediri) dan Harsono Tjokroaminoto (Al-Djihad,Yogya). Dalam rapat ini dibicarakan juga mengenai nasib berbagai penerbitan di daerahserta kemungkinan fasilitas dari pemerintah. Tetapi dengan tegas hal itu ditolak olehKetua Umum Mr. Sumanang.Mengenai kemungkinan fasilitas dari pemerintah untuk membantu penerbitan di kota-kota kecil, Mr. Sumanang menggariskan sikapnya dengan menyatakan, “Tentang perhubungan dengan pemerintah, baiklah jika saya kemukakan pendirian saya, yang mudah-mudahan juga menjadi pendirian Persatuan kita. Janganlah kita terlalu gampang meminta, meskipun kepada pemerintah kita sendiri. Kita harus merasa puas dengan usahakita sendiri, yang kita atur sendiri pula. Selama kita masih bertenaga dan bernafas, janganlah minta pertolongan siapa pun, supaya kita tetap bebas dalam menjalankan tugas kita.
Negara kita ialah suatu negara yang berhukum, berdasar pada keadilan. Kita hanya berharap, dan jika perlu mendorong nanti, supaya pemerintah akan mengambil tindakanyang tegas dan nyata, yang sesuai dengan dasarnya.”Setelah uraian Ketua Umum itu, Syamsuddin Sutan Makmur kembali tampil berbicaramengutarakan adanya RUU Pers yang oleh pemerintah telah dimintakan pertimbangan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP). Menurutnya, dia tidak akanmenyetujui adanya UU Pers tadi, karena tiap undang-undang mengandung maksudmembatasi kemerdekaan melahirkan pikiran. Dalam hubungan ini dia mendapat bantuan/dukungan dari anggota BP-KNIP lainnya, dan maksud pemerintah itu dibatalkan.Lebih lanjut anggota pengurus PWI Pusat yang baru terpilih itu mengaskan, “Kita kaumwartawan harus pandai menghargai kemerdekaan melahirkan pikiran itu dan sanggup berpikir yang luas dan bekerja teliti. Janganlah kita berbuat yang melanggar kemerdekaanitu, yang akibatnya merugikan kepentingan kita sebagai bangsa yang kini tengah dalam perjuangan dahsyat.
Kita lawan adanya sensor. Kita tidak menyukai adanya hukumanadministrative, kita tidak senang dengan adanya pemberangusan. Dalam pada itu kitaharus sanggup mengadakan pembatasan sendiri. Sebaiknya kita mengadakan komisi yangmemikirkan hal itu.” Namun pembentukan komisi yang diusulkan oleh Syamsuddin Sutan Makmur ini punditolak oleh seorang peserta rapat, yaitu Ibnu Parna (Penghela Rakyat, Magelang). Ibnutidak setuju pembentukan komisi. Dia khawatir timbul ekses yang akan membelenggukaum wartawan. Ibnu Parna menyatakan, “Sebaikya kita berjanji kepada diri sendiri bahwa dalam menunaikan tugas kewajiban, kita senantiasa menjaga kepentingan kitasebaik-baiknya.”Terhadap uraian Ibnu Parna ini, Ketua Mr. Sumanang menyatakan persetujuannyadengan menambahkan, “Kami sudah menyediakan suatu konvensi, suatu hukum yangtidak tertulis, suatu norm yang terlukis dalam bathin kaum wartawan yang harusdijunjung tinggi” (PWI Jaya Di Arena Masa, oleh Soebagijo I.N.).Komitmen pimpinan nasional akan independensi serta peranan pers nasional ini jugadinyatakan pada peringatan satu windhu PWI, Februari 1954.
Tidak kurang dari Wakil Presiden Bung Hatta meninjau kedudukan dan peranan pers itu dalam kerangka sistem politik nasional. Dikatakannya, karena masyarakat umum bersikap pasif dan kurangmampu menyampaikan perasaannya secara jelas, maka perlu ada badan-badan berupa perkumpulan, partai dan cendekiawan atau wartawan untuk menduga perasaan dankehendak rakyat.
Perkumpulan dan partai menyatakan perasaan rakyat yang diwakilinyamelalui keputusan pertemuan atau rapat, tetapi tidak setiap waktu dapat diadakan pertemuan atau rapat seperti itu.Atas kenyataan itu, Bung Hatta mengatakan, “Yang dapat bersuara setiap hari ialah suratkabar. Sebab itu surat kabarlah yang lebih mendekati sifat, apa yang disebut orang“anggota perasaan umum”. Sifat ini hanya dapat dipenuhi oleh suatu surat kabar, apabila ia memberikan kesempatan kepada tiap-tiap orang untuk melahirkan pendapatnya secaraobjektif, yang benar-benar mencerminkan perasaan rakyat yang terpendam. Dalam padaitu, pada tuntutan ini terdapat dua kesukaran. Pertama, orang yang pandai mengeluarkan pendapatnya tidak selamanya dapat menduga perasaan orang banyak yang pasif itu secaraobjektif. Sering ia mengemukakan pendapatnya sendiri, yang berdasarkan kepada keyakinan politiknya atau pandangan hidupnya.

Sumber : http://www.scribd.com/doc/62293698/KODE-ETIK-JURNALISTIK-2010



Selasa, 09 Oktober 2012

HISTORY OF JOURNALISM


Nama : Devianti Eka Lestari
Kelas : 3SA02
NPM   : 11610887
History of Journalism
The history of journalism, or the development of the gathering and transmitting of news, spans the growth of technology and trade, marked by the advent of specialized techniques for gathering and disseminating information on a regular basis that has caused, as one history of journalism surmises, the steady increase of “the scope of news available to us and the speed with which it is transmitted.”
Prehistoric, ancient and medieval periods
Early methods of transmitting news began with word of mouth, which limited its content to what people saw and relayed to others; accuracy in news depended on the scope of the event being described and its relevance to the listener. Ancient monarchial governments developed ways of relaying written reports, including the Roman Empire afterJulius Caesar onward, which recorded and distributed a daily record of political news and acts to Roman colonies. After the empire collapsed, news dissemination depended on travelers’ tales, songs, ballads, letters, and governmental dispatches. These details provided by the different sources from the word of mouth was being written down, which became a reliable and transferable source of medium. Ancient Egyptians use to write and announce.
Renaissance and the printing press
The invention of the movable type printing press, attributed to Johannes Gutenberg in 1456, led to the wide dissemination of the Bible and other printed books. The first newspapers appeared in Europe in the 17th century. The first printed periodical was Mercurius Gallobelgicus; written in Latin, it appeared in 1594 in Cologne, now Germany, and was distributed widely, even finding its way to readers in England.
The first regularly published newspaper in English (as opposed to the earlier “news books”, published in 8- to 24-page quarto formats) was the Oxford Gazette (later the London Gazette, and published continually ever since), which first appeared in 1665. It began publication while the British royal court was in Oxford to avoid the plague in London, and was published twice a week. When the court moved back to London, the publication moved with it. An earlier newsbook, the Continuation of Our Weekly News, had been published regularly in London since 1623.
The first daily newspaper, the Daily Courant, appeared in 1702 and continued publication for more than 30 years. Its first editor was also the first woman in journalism, although she was replaced after only a couple of weeks. By this timeHistory of Journalism,
The history of journalism, or the development of the gathering and transmitting of news, spans the growth of technology and trade, marked by the advent of specialized techniques for gathering and disseminating information on a regular basis that has caused, as one history of journalism surmises, the steady increase of “the scope of news available to us and the speed with which it is transmitted.”